ACHTUNG! Diese Seite verwendet Cookies und vergleichbare Technologien.

Wenn Sie Ihre Browsereinstellungen nicht anpassen, erklären Sie sich hiermit einverstanden. weitere Informationen

Ich stimme zu

Kontakt:

EMail Adressen

allg. Informationen

Presse

Webmaster

Kelinci dan Landak

Das Märchen der Gebrüder Grimm: "Der Hase und der Igel" - die Indonesische Übersetzung.


Cerita ini terdengar seperti dongeng anak-anak. Ini adalah benar-benar cerita dari kakek saya, dan beliau selalu berkata: "Cerita ini memang benar terjadi anakku, jikalau tidak orang lain pun takkan bisa menceritakan ini". Dan dongeng tersebut bemula dari sini:
Pada hari Minggu pagi, saat itu musim gugur, biji gandum bermekaran, matahari bersinar cerah di langit, angin pagi hari bertiup hangat di atas ufuk, burung-burung bernyanyi di udara, lebah berdengung di antara taman bunga, semua makhluk terlihat nampak indah begitu juga landak, dan orang-orang pun terlihat pergi ke Gereja.
Nampak Landak berdiri di depan pintu, dia melipat kedua tangannya, pandangannya tertuju keluar, merasakan segarnya angin pagi sambil bersenandung. Merdu ataupun tidak si Landak sudah terbiasa bernyanyi saat hari Minggu.
Ia tetap bernyanyi dengan keras, sementara itu istrinya sedang mencuci pakaian sembari bermain dengan anak-anaknya. Kemudian ia berjalan ke lapangan sembari melihat tanaman lobak yang tumbuh tak jauh dari rumahnya. Tanaman tersebut telah ia anggap menjadi miliknya dan digunakan oleh keluarganya untuk makan sehari hari.
Tak lama berselang, Landak menutup pintu rumah lalu berjalan ke lapangan tak jauh dari rumahnya. Saat berjalan, ia melihat si Kelinci yang juga sedang berjalan-jalan melihat kebun lobaknya. Ketika Landak melihat Kelinci, ia menyapa dengan ramah. Akan tetapi Kelinci berjalan penuh angkuh, bahkan ia tidak membalas sapaan Landak, dan berbalik menghinanya.
"Bagaimana mungkin kamu sepagi ini sudah berkeliling lapangan?", tanya Kelinci.
"Aku hanya berjalan-jalan", sahut Landak.
Sembari tertawa Kelinci balik bertanya, "Berjalan-jalan? Aku melihat seharusnya engkau mempergunakan kakimu untuk hal yang lebih baik.”
Perkataan tersebut membuat si Landak merasa sangat kesal dan marah. Baginya sangatlah menjengkelkan mendapat hinaan tentang kakinya yang pendek, hanya karena hal tersebut dimilikinya secara alamiah.
"Kau selalu berpikir dirimulah yang terbaik", kata si Landak pada Kelinci.
“Betul, itu yang selalu kupikirkan", jawabnya.
„Hal itu harus kita uji“, balas Landak.
„Apa yang dapat kau lakukan dengan kakimu? Aku berani bertaruh apabila kita berlomba lari, aku akan bisa mengalahkanmu", tantang Landak.
"Ini sangatlah konyol! Kamu dengan dengan kaki pendekmu itu? Tapi aku tak peduli, apakah kamu berani bertaruh?", balas Kelinci.
„Sebatang emas dan dan sebotol Brandy, itu taruhanku", kata Landak.
"Setuju! Mari berjabat tangan lalu segera kita memulai perlombaannya", sahut Kelinci.
Landak dengan cepat menjawab, "Tidak, aku tidak ingin terburu-buru. Aku masih berpuasa, aku akan pulang dahulu lalu sarapan. Aku akan kembali ke tempat ini dalam jangka waktu setengah jam."
Lalu pergilah Landak kembali pulang kerumahnya, dan sang Kelincipun sangat percaya diri bisa memenangkan perlombaan tersebut. Sembari berjalan, Landak berkata pada dirinya sendiri: si Kelinci selalu mengandalkan kakinya yang panjang, tapi kali ini aku ingin ia mendapatkan pelajaran. Dia bisa saja mengatakan dirinya hebat, tetapi sesungguhnya ia hanyalah seekor Kelinci yang bodoh, dan dia akan mendapat ganjaran atas perkataanya kepadaku.
Sesaat ketika Landak tiba di rumah, ia berkata kepada istrinya, "Istriku, cepatlah berpakaian, kamu harus ikut denganku ke lapangan."
"Ada apa?", tanya istrinya.
"Aku membuat taruhan dengan Kelinci untuk sebatang emas dan sebotol Brandy. Aku akan menjalankan taruhan itu, dan engkau harus mendukungku."
"Oh Tuhan..", jawab istrinya mengeluh.
"Kau tidaklah terlalu pandai. Apakah kau sudah kehilangan akal? Bagaimana mungkin engkau ingin berlomba dengan Kelinci?"
"Diam kau istriku! Ini masalahku dan jangan kau ikut campur urusan lelaki. Lekaslah berpakaian dan ikut aku!", kata Landak. Tak ada yang bisa dilakukan oleh istri Landak. Suka ataupun tidak dia harus mengikuti perintah suaminya.
Tak lama mereka berjalan bersama-sama menuju lapangan, lalu Landak menjelaskan kepada istrinya.
"Sekarang dengarkan baik-baik apa yang akan kukatakan kepadamu. Aku akan berlomba lari jarak jauh, Kelinci akan berlari di satu lintasan sementara aku di lintasan lainnya. Kami akan mulai berlari dari atas bukit. Kemudian yang harus kau lakukan adalah berdiri di sisi sebelah pohon, lalu saat Landak hampir tiba mendekati garis akhir kau harus berteriak kepadanya „Aku sudah disini!“”, jelasnya.
Tak lama mereka tiba di lapangan, dan Landak menunjukkan pada istrinya tempat dimana ia harus menunggu. Sesaat kemudian Landak tiba di atas bukit, dan Kelinci sudah siap berdiri.
“Kita mulai sekarang perlombaannya?“, tanya Kelinci.
„Tentu saja!“, sahut Landak.
Keduanya lalu mengambil tempat masing-masing dan bersiap.
„Satu, dua, tiga, dan lari!“.
Landak hanya berlari sekitar tiga langkah saja, lalu ia membungkuk dan diam ditempat. Sementara Kelinci berlari dengan sangat percaya diri, dan saat ia hampar tiba di garis akhir, ia mendengar teriakan istri Landak, “Aku sudah di sini!”.
Si Kelinci terkejut mendengarnya dan tak menyangka bahwa suara itu berasal dari si Landak. Kelinci menjadi penasaran dan ingin mengulangi perlombaan tersebut lagi.
“Mari kita ulang lagi lomba larinya”.
“Baiklah! Kita bisa berlomba lari sebanyak yang kau inginkan” tantang Landak.
Walaupun si Kelinci telah berlari sebanyak tujuh puluh tiga kali lebih banyak, namun tetap Landaklah yang menjadi pemenangnya.
Untuk yang ke tujuh puluh empat kalinya Kelinci tak mampu lagi berlari mendahului Landak. Di tengah perjalanan ia terjatuh dengan darah mengalir dari mulutnya, lalu mati seketika. Landak mengambil sebatang emas dan sebotol Brandy, memanggil istrinya lalu keduanya pulang bersama-sama dengan sangat gembira.
Inilah awal cerita terjadinya Landak membuat Kelinci berlari hingga mati kelelahan di Buxtehuder. Sejak saat itu tidak ada Kelinci manapun yang berani berlomba lari dengan Landak Buxtehuder.
Moral dari cerita ini adalah tak ada satupun yg paling hebat di dunia ini. Alangkah baiknya apabila setiap orang memiliki pasangan yang bisa saling melengkapi, saling mendukung, dan saling membantu.

 

Übersetzung / Translation by Suratming (Inge) Haryati - Thank you